Senin, 11 April 2011

ZONING REGULATION, ZONING, ZONA
Menurut pengertiannya, zona, zoning dan zoning regulation yaitu. Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang spesifik.
Zoning adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain.
Sedangkan zoning regulation dapat didefinisikan sebagai ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi, notasi dan kodifikasi zona-zona dasar, peraturan penggunaan, peraturan pembangunan dan berbagai prosedur pelaksanaan pembangunan.

Tujuan
Tujuan penyusunan peraturan zonasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas suatu satuan ruang.
2. Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
3. Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai serta meningkatkan kualitas hidup.
4. Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan.
5. Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendorong peran serta masyarakat.

Fungsi peraturan zonasi adalah
1. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Peraturan zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang perjabaran rencana dari yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat meso sampai kepada rencana yang bersifat mikro (rinci).
2. Sebagai panduan teknis pemanfaatan lahan. Ketentuan-ketentuan teknis yang menjadi kandungan peraturan zonasi, seperti ketentuan tentang penggunaan rinci, batasan-batasan pengembangan persil dan ketentuan-ketentuan lainnya menjadi dasar dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan.
3. Sebagai instrumen pengendalian pembangunan. Peraturan zonasi yang lengkap akan memuat ketentuan tentang prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada karena dikemas dalam aturan penyusunan perundang-undangan yang baku dapat dijadikan landasan dalam penegakan hukum.

Kedudukan Zonasi
Dalam praktek penataan ruang, peraturan zonasi lebih penting kedudukannya ketimbang perencanaan dan harus ditetapkan sebagai prioritas dalam penyusunannya . Begitu pentingnya peraturan zonasi ini sehingga ada pendapat yang mengatakan better regulation without planning rather than planning without regulation. Konsepsi increamental planning seperti yang dipraktekkan di Houston dan floating zone sebagaimana yang diberlakukan di Perancis, dapat dikatakan mencerminkan hal tersebut. Houston tidak memiliki zoning plan, sedangkan Perancis menyusun konsepsi zoning plan atas dasar zona existing. Tetapi mereka memiliki regulasi yang kuat untuk alat bernegosiasi, yaitu Houston dengan peraturan land usenya dan Perancis dengan peraturan zonasinya . Demikian juga pengalaman kota Jakarta semasa zaman kolonial dan dua dekade awal kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menyusun Master Plan kota Jakarta tetapi hanya menyiapkan sebuah peraturan yaitu Kringen Type Verordening 1941 / KTV 1941 ( Peraturan Lingkungan dan Jenis Bangunan 1941 ). Peraturan ini sudah dapat digolongkan sebagai peraturan zonasi dalam bentuk yang sederhana karena materi yang diatur masih sangat terbatas sesuai dengan kondisi kota Jakarta pada saat itu. Namun peraturan inilah yang dipakai sebagai acuan dalam perencanaan bagian-bagian wilayah kota Jakarta seperti Menteng, Kebayoran. KTV 1941 kemudian dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kota Jakarta dan dinyatakan tidak berlaku melalui Perda 6 Tahun 1999
Pada hampir semua negara, peraturan zonasi ditetapkan sebagai peraturan nasional, meskipun yang diatur adalah muatan yang lebih bersifat lokal, seperti di Inggris, Perancis, Jepang , Malaysia dlsbnya. Amerika Serikat juga sampai sekarang masih menetapkan zoning sebagai peraturan nasional dan telah diadopsi oleh banyak kota di sana. Namun masih diberikan kelonggaran bagi setiap kota untuk menyusun peraturan zonasinya sendiri. Demikian juga hendaknya bagi Indonesia , seyogyanya peraturan ini bersifat nasional. Dengan peraturan yang sifatnya nasional, lebih mudah melaksanakan pemaduan serasian rencana tata ruang antar wilayah yang setara.
Selain peraturan zonasi memang ada ketentuan dan peraturan lain yang dikembangkan setelah suatu rencana rinci selesai disusun. Itulah peraturan yang disebut development control plan di Inggris dan beberapa negara persemakmurannya atau urban design guidelines di Amerika Serikat. Peraturan ini sifatnya supplement dan sangat spesifik dan hanya diberlakukan pada zona yang dikategorikan sebagai overlay zone, yaitu kawasan yang minimal memiliki dua kepentingan yang berbeda sehingga memerlukan penanganan khusus. Misalnya pusat kota, daerah bandara dan sekitarnya, kawasan heritage, kawasan tepi air dan lain sebagainya. Sedangkan zoning regulation sifatnya generik dan berlaku umum untuk setiap jengkal lahan perkotaan.
Peraturan zonasi dikenal dengan berbagai istilah antara lain :
- Zoning code ( San Diego )
- Zoning ordinance ( New York )
- Zoning and land development code ( Palm Beach )
- Zoning resolution / zoning regulation ( beberapa kota di Amerika Serikat )
- Town Planning Act and Zoning Code ( Jepang )
- Town and Country Planning Act ( Inggris, Singapore, Malaysia )
- Reglement de zone ( Perancis ).
Secara umum model peraturan zonasi yang berkembang di berbagai negara dapat dikelompokkan menjadi 3 model yaitu : floating zoning (Perancis), flexible zoning dan rigid zoning (Amerika Serikat). Akan tetapi model rigid zoning sudah banyak ditinggalkan oleh beberapa kota di dunia.
Zoning di Indonesia
Penerbitan KTV 1941 (peraturan tentang lingkungan dan jenis bangunan) untuk kota Jakarta oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1941 dapat dikatakan merupakan awal kehadiran peraturan zonasi di Indonesia. Dalam perjalanannya terutama pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, KTV 1941 dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pembangunan kota pada saat itu, karena :.
Pertama ; KTV 41 sama sekali belum mengatur tentang pembangunan bangunan tinggi dan kedua ; karena klasifikasi zonasi yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan pertumbuhan kota Jakarta sebagai kota metropolitan. KTV 41 menetapkan klasifikasi zonasi menjadi 3 kategori utama, yaitu zona urban , zona rural dan zona umum. Ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam peraturan pembangunan sub zona rural terutama tentang batasan minimum luas petak, KDB, serta pemanfaatan lahannya semata untuk lahan pertanian menjadi kendala bagi pembangunan Jakarta.
Untuk menutupi kekurangan tersebut maka pada tahun 1975 diterbitkanlah Peraturan Daerah No.4 Tahun 1975 tentang Ketentuan Bangunan Bertingkat di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Setelah itu berbagai Keputusan Gubernur yang terkait dengan pembangunan kota juga diterbitkan (SK Gub No. 540, SK 640, SK 678 dan lain sebagainya). Semua peraturan tersebut tersebar dalam beberapa dokumen yang terpisah dan satu sama lainya tumpang tindih dan kadang saling bertentangan. Disamping itu dari sisi hukum, SK Gubernur kekuatan hukumnya sangat lemah.
Akhirnya Perda 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta, menyatakan bahwa KTV 41 tidak berlaku lagi dan diamanatkan untuk segera menyusun peraturan zonasi sebagai gantinya. Sebenarnya upaya untuk menyusun peraturan zonasi di Jakarta sudah dimulai pada awal tahun 1980- an dan kebetulan penulis termasuk yang ditugasi menyusun Peraturan dimaksud. Pekerjaan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari peraturan zonasi yang berlaku pada beberapa kota di dunia dan setelah mencari model yang kira-kira sesuai dengan kondisi Jakarta, akhirnya peraturan zonasi untuk Jakarta berhasil disusun pada tahun 2002 tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah. Naskah Raperda tentang zonasi ini bahkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, cq Dinas Tata Kota telah desiminasikan ke berbagai instansi dan perguruan tinggi, antara lain Dinas-dinas teknis di lingkungan Pemda, Bappeda, Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Bappenas, ITB, UI dan lain-lain. Hasil positipnya adalah kesadaran tentang pentingnya peraturan ini semakin meluas dan apa yang selama ini diharapkan yaitu agar peraturan zonasi menjadi salah satu ketentuan perundangan berhasil diwujudkan. Namun sayangnya raperda dimaksud sampai hari ini belum disahkan menjadi perda karena tidak adanya political will ditingkat pimpinan DKI untuk menyelesaikannya.
Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa kelahiran zoning di Amerika maupun Inggris mempunyai latar belakang yang hampir serupa yaitu untuk mengendalikan keserakahan pengusaha properti maupun industri. Sehingga tidaklah salah apabila ada beberapa pakar perencanaan kota memberi respons positip tentang zoning antara lain Robert Hood yang menyatakan bahwa zoning adalah langkah awal menuju community planning di mana milik perorangan tunduk terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat dan Hugh Ferris yang menyatakan bahwa zoning adalah dimensi demokratik dalam pembangunan kota karena melindungi hak publik terhadap hak property yang semula tidak terbatas.
Di Indonesia yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda menyusun KTV 1941 adalah sebagai respons terhadap berbagai permasalahan lingkungan kota tua saat itu akibat munculnya hunian-hunian kumuh yang tidak hygienis .Perencanaan sebagian daerah Menteng dan Kebayoran Baru dibuat berdasarkan peraturan tersebut. Sampai saat ini tidak ada kawasan yang bisa menandingi perencanaan daerah Menteng dan Kebayoran, sekalipun Pondok Indah ataupun Simprug. Tetapi sayangnya kondisi Menteng dan Kebayoran sekarang ini secara perlahan tetapi pasti sedang menuju degradasi lingkungan yang parah. Semuanya diawali dengan kemunculan berbagai kegiatan yang tidak kompatibel dengan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut.

Sumber
gedebudi.wordpress.com
http://imazu.wordpress.com/zoning/
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar